Pemilik kisah ini mengatakan;
Aku berkenalan dengan gadis itu di bangku kuliah saat mata kuliah tertentu. Dia sangat berbeda denganku. Minatnya terbatas pada ilmu, kerja keras, dan nilai tinggi.
Baginya, kuliah adalah masa depan.
Sedangkan aku, minatku adalah apa yang aku pakai, apa yang aku koleksi, di mana aku belanja, dan siapa yang aku temani.
Karena perbedaan minat di antara kami itulah, maka aku tidak memperhatikan persahabatanku dengannya. Karena aku tidak menyukai tipe gadis seperti itu.
Satu semester berlalu...
Dan aku kembali berkumpul dengannya pada semester dua untuk mata kuliah yang lain. Pada semester ini, aku menjadi akrab dengannya. Karena pengetahuanku yang dangkal pada mata kuliah sebelumnya, dia suka memberikan jasanya tanpa aku minta.
Misalnya, dia memberikan fotokopi berkas-berkas kepadaku, dan membooking tempat duduk untukku di sampingnya.
Hari demi hari berlalu...
Sampai akhirnya dosen mata kuliah tersebut meminta kami untuk membuat penelitian bersama. Hal ini semakin menambah keakrabanku dengannya. Percakapan telepon di antara kami berlangsung terus menerus. Dari situlah aku tahu banyak tentang sisi kehidupannya.
Aku menjadi rindu pada jam kuliah yang membuat kami bisa berkumpul. Sehingga aku bisa berjumpa dengan wajahnya yang cerah dan selalu tersenyum.
Hari-hari berlalu...
Hingga aku mengalami masalah kesehatan. Dan harus istirahat total selama dua minggu. Selama itu pula dia tidak pernah berhenti menelepon, mengirim bunga, dan memberi hadiah.
Ibuku sangat menyukainya. Dan dia memintaku agar mengundangnya untuk berkunjung ke rumah.
Temanku itu datang ke rumahku dan kegembiraanku pun tak bisa aku lukiskan dengan kata kata. Pada hari itu juga aku melupakan sakitku.
Begitu kami mendengar adzan maghrib, ia langsung minta izin dan berkata,
“Izinkan aku sholat sebelum ibuku datang, dan aku membutuhkan sebuah sajadah.”
Aku tersentak kaget mendengar permintaannya.
“Apa? Kamu perlu apa?” tanyaku.
Dia menengok ke arahku dan berkata, “Kenapa kamu? Aku perlu sajadah sholat.”
Kepalaku serasa diguyur air panas. Aku menjawabnya sambil berpikir keras.
“Sajadah sholat?”
“Oh, maaf. Di rumah kami tidak ada sajadah sholat.”
Kemudian dia berkata,
“Sajadah sholat, tidak punya tempat di rumahmu? Aku tak percaya.”
Dia berkata sambil tercengang. Wajahnya menampakkan tanda tanda keheranan.
Temanku itu meletakkan tangannya di kepalanya sambil menangis. Matanya berlinang air mata, dan berkata,
“Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu. Tapi aku tidak ingin persahabatan kita putus gara gara kuffur. Gara gara ingkar kepada Robb langit.
Aku sangat mencemaskanmu.
Bagaimana mungkin kamu bisa tidur, tertawa, dan minum. Sementara kamu tidak bersyukur kepada Robb mu dengan melaksanakan sholat kepada-Nya?
Permisi, aku mau sholat di lantai marmer itu dan meninggalkan hatimu seperti aku memasukinya.”
Temanku itu sholat. Sementara aku memikirkan ucapannya.
Ketika ibunya datang, dia bermaksud keluar. Tapi langsung aku pegang tangannya, dan berkata,
“Aku mohon, jangan tinggalakan aku. Tolonglah aku. Karena dari kamulah aku bisa mengenal arti kehidupan. Dan banyak hal, banyak hal yang telah berubah dalam hidupku.
Aku mohon, bimbinglah aku. Hapuslah kegelapan dari mata hatiku. Jangan lupa berdoa untukku dan untuk keluargaku.”
Namun, temanku itu keluar begitu saja tanpa menjawab sepatah katapun. Karena air mata lebih banyak daripada kata kata.
Dia keluar dari rumah, sementara aku terus memandanginya sambil berucap,
“Ya Allah, aku mohon kepadamu agar Engkau berkenan mempertemukanku sekali lagi.”
Dan ketika aku mengucapkan kata kata itu, aku berkata dalam hati,
“Apakah kamu tidak malu meminta sesuatu kepada Tuhanmu, sedangkan kamu tidak menunaikan hak hak-Nya. Apakah kamu tak malu?”
Aku bergerak cepat. Sementara berbagai perasaan melimpah ruah memenuhi hatiku. Aku ingin berubah. Aku ingin ketenangan dan kedamaian.
Aku bewudhu.
Tapi menurutku aku tidak berwudhu dengan baik. Kemudian aku sholat maghrib. Aku merasakan ketenangan jiwa luar biasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku memanjatkan doa kepada Allah. Ku angkat kedua tanganku, seraya memohon kepada Robb ku agar berkenan memberikanku pertolongan dengan menyambung kembali hubunganku dengan temanku itu.
Akan tetapi, apa yang ku pakai dalam sholat?
Aku memakai seprei yang ada di atas kasur. Maka aku berjanji kepada Robb ku bahwa aku tidak akan meninggalkan kewajiban sholat.
Pagi pagi sekali pembantu mengetuk pintu kamarku sambil membawa sebungkus hadiah yang besar. Aku membukanya dan melompat kegirangan. Karena aku menemukan mukena dan sajadah sholat. Aku merasa sangat gembira karena dua hal.
Pertama, karena temanku tidak meninggalkanku. Dan hadiah ini menunjukkan bahwa dia masih menyukaiku. Yang kedua, karena aku mendapatkan hadiah yang sangat indah.
Ku baca kartu di dalam bungkusan itu, yang bertuliskan;
“Sahabatku...
Berjanjilah padaku, bahwa aku akan tetap menjadi sahabatmu. Dan berjanjilah bahwa di rumahmu akan ada lebih dari satu sajadah sholat.”
Aku bergegas pergi ke toko buku islami dan membeli buku buku yang secara khusus membahas tentang sholat, tata caranya, dan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
Lalu aku mencetak beberapa bagiannya dan menempelkannya di ruangan tengah di rumahku.
Itu sebagai pengingat bagiku. Maka semua orang mulai membacanya. Dan aku merasa bahwa yang menolongku dalam hal ini adalah semata Allah Azza Wajahla.
Beberapa bulan kemudian...
Aku mendengar berita yang sangat indah saat ibuku memberi tahuku bahwa ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji bersama ayahku.
Aku benar benar bersyukur kepada Allah dengan jalan temanku ini keindahan ku raih, kesenangan ku dapatkan. Begitupun ketenangan hidup.
Akupun berterima kasih kepada temanku yang membuat perjalanan hidup rohaniku menjadi berubah. Menjadi sebuah sajadah yang indah.
Hari hariku ku lewati dengan sujud kepada Allah Azza Wajahla.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman hidup orang lain. Dan kita dapat memetik hasilnya yang baik. Begitupun kita juga dapat mengambil hikmah dari apa yang telah kita dapatkan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.